Pembobolan ATM Bank

ADA hal-hal yang menarik sehubungan dengan kasus pembobolan dana nasabah melalui ATM suatu bank baru-baru ini.

Terutama berkenaan dengan keberlakuan UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya ketentuan larangan melakukan tindak pidana (cybercrime) dan tanggung jawab hukum terhadap penyelenggaraan sistem elektronik yang baik.

Demi kepentingan publik, UU ITE memberikan kewajiban pihak yang terkait dengan eksistensi sistem elektronik itu untuk menghargai dan menyelenggarakan sistem secara baik.Tidak hanya kepada pengguna untuk menjaga kelancaran sistem elektronik itu, melainkan juga keharusan penyelenggara untuk menyelenggarakan sistem secara baik.

Selain memberikan ancaman pidana kepada pihak-pihak yang menyalahgunakan sistem elektronik untuk tujuan yang melawan hukum, UU ITE juga mengharuskan kewajiban pertama kepada penyelenggara untuk menyelenggarakan sistem elektroniknya secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik.(Lihat Pasal 15 ayat [1] UU ITE). Dalam konteks pidana, menurut penulis, ketentuan pidana dalam UU ITE sebenarnya telah cukup menjerat si pelaku.

Perhatikan, Pasal 30 UU ITE telah melarang tindakan setiap orang yang dengan sengaja mengakses sistem secara tanpa hak atau melawan hukum (illegal access). Kemudian Pasal 32 ayat (2) UU ITE yang melarang tindakan memindahkan atau mentransfer informasi elektronik tanpa hak atau melawan hukum kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak (termasuk dalam kategorisasi tindakan interferensi data (data interference).

Juga Pasal 34 UU ITE yang melarang setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan tindakan mendistribusikan atau menyediakan informasi elektronik yang merupakan kode akses dengan tujuan untuk memfasilitasi tindakan yang melawan hukum (termasuk dalam kategori tindakan misuse of devices).

Selanjutnya apabila tindakan formal tersebut ditujukan untuk maksud mencuri (computer related fraud) sehingga mengakibatkan kerugian pihak yang berhak (baca kehilangan nilai ekonomis ataupun terhadap loss of property, sebagaimana layaknya akibat dalam pencurian pada Pasal 362 KUHP), selayaknya juga dapat diterapkan Pasal 36 UU ITE dengan ancaman sanksi yang cukup berat, yakni penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12 miliar rupiah.

Hal tersebut akan menjadi lebih berat (ditambah 2/3 dari pidana pokok) jika ternyata objek sistem elektronik tersebut adalah sistem elektronik yang bersifat strategis. Kita ketahui bersama bahwa sistem elektronik perbankan adalah termasuk dalam kategori strategis (Pasal 52 ayat [3] UU ITE). Dalam konteks perdata, ketentuan tersebut mengindikasikan anutan prinsip presumed liability di mana si penyelenggara dinyatakan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab terhadap segala macam kerugian sekiranya sistem tersebut diselenggarakannya secara melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian kepada pihak lain (lihat Pasal 15 ayat [2] UU ITE).

Namun demi keadilan, Pasal 15 ayat (3) menyatakan bahwa ketentuan ayat (2) tersebut tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik. Menjadi pertanyaan, siapakah yang harus membuktikan adanya keadaan yang menjadi escape clause tersebut? Apakah beban si penyelenggara ataukah beban si pengguna? Mengingat penyelenggaraan sistem elektronik adalah wujud penerapan teknologi informasi yang merupakan produk high-tech, tentu pengguna sistem tidak akan mempunyai kemampuan untuk membuktikan hal tersebut karena mereka mempunyai keterbatasan akses pada sistem.

Oleh karena itu, dengan sendirinya demi keadilan, hal tersebut mengindikasikan adanya pembebanan pembuktian terbalik sebagaimana layaknya dianut dalam UU Perlindungan Konsumen. Berdasarkan informasi yang disampaikan media massa, ditengarai pelaku memperoleh informasi secara ilegal dengan menggunakan perangkat tertentu (skimmers atau perangkat lain yang berfungsi semacam itu) yang dipasangkan pada lokasi ATM yang sebenarnya masih merupakan tanggung jawab pihak si penyelenggara.

Menjadi pertanyaan apakah penyelenggara sistem elektronik dapat begitu saja melepaskan tanggung jawabnya terhadap bagaimana seharusnya ATM tersebut terpasang dan beroperasi dengan baik? Apakah penyelenggara sudah sesuai dengan “kepatutan”dalam memasang dan membiarkan saja tanpa pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem elektronik tersebut? Lebih jauh lagi,jika penyelenggaraan ATM tersebut adalah hasil kerja sama dengan mitra bisnisnya, apakah si penyelenggara dapat melepaskan tanggung jawab hukumnya kepada konsumennya?

Padahal penyelenggara ATM yang dapat dikategorikan sebagai agen elektronik merupakan satu kesatuan dengan penyelenggaraan sistem elektronik untuk kepentingan perbankan itu sendiri sehingga seharusnya ia juga masih dalam satu lingkup tanggung jawab penyelenggaraan dari si penyelenggara utama (principal) sistem elektronik tersebut. Kejadian bobolnya dana nasabah sebenarnya bukan sesuatu yang baru akibat sudah lama diketahui adanya kelemahan pada medium magnetic card dan berdasarkan “kepatutan”ataupun “kelaziman” dalam penyelenggaraan sistem pengamanan (security) yang baik seharusnya sudah berubah pada penggunaan kartu dengan chip.

Pertanyaannya, apakah kelalaian itu juga dapat melepaskan tanggung jawab penyelenggara sistem tersebut kepada publik? Semua pertanyaan tersebut hanya untuk mengingatkan bahwa institusi pembina seharusnya juga melakukan pembinaan dan pengawasan dengan lebih baik lagi.

Perbankan adalah sektor yang strategis sehingga lumrah jika diberi standar penyelenggaraan yang lebih ketat dan dinamis sesuai dengan perkembangan sistem pengamanan. Selain proses pidana kepada para pelaku, sebaiknya juga ada perbaikan ketentuan administratif terkait penyelenggaraan sistem elektronik dalam lingkup perbankan.

Jangan dibiarkan ATM terpasang pada posisi yang terbuka (tanpa boot yang menjadi pelindung privacy) sehingga mengakibatkan terbukanya peluang yang besar bagi orang-orang yang beriktikad tidak baik untuk mencermati kelengahan dalam penggunaan. Bukankah tindak pidana terjadi bukan hanya karena niat si pelaku, melainkan juga karena kesempatan atau peluang yang terbuka lebar? Berikan informasi yang cukup jelas dan up-to-datekepada para pengguna untuk senantiasa melakukan kehati-hatian dalam menggunakan sistem elektronik tersebut.

Hal ini juga perlu kesadaran setiap nasabah untuk senantiasa berhati-hati karena kelalaian tentu akan dapat mengakibatkan kerugian kepada diri sendiri. Terlebih dari itu, perlu menjadi pemikiran ke depan, apakah adil bagi para nasabah yang jika karena belum sadar atau justru karena merasa riskan lebih memilih untuk hidup secara konvensional tanpa penggunaan ATM? Kini seakan terpaksa harus menggunakan ATM, padahal risikonya boleh jadi masih tinggi, kecuali standar penyelenggaraannya semakin diperbaiki.

Jangan hanya karena public policy untuk mendorong cashless society, kebijakan seakan melupakan bahwa hal tersebut sebenarnya adalah suatu opsi yang boleh saja digunakan, tetapi boleh juga tidak. Bukankah tidak mau ber- ATM juga merupakan hak asasi manusia? Kecuali bila bank sebagai penyelenggara sistem elektronik mau segera mengganti kerugian seketika tanpa berpolemik dengan nasabahnya.

Semoga Bermanfaat

Terima Kasih

Deny & Partners

081250106444

RAHASIA BANK DALAM KAITANNYA DENGAN KEJAHATAN PERBANKAN

 

A Pendahuluan

Undang-undang No. 10 tahun 1998 Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sangat sangat dipersoalkan tentang kerahasiaan bank di Indonesia yang terlalu ketat sehingga banyak kasus-kasus pidana perbankan yang sukar dilacak karena terlindung oleh kerahasiaan bank. Adanya pembeberan kredit macet, pembeberan simpanan nasabah, penyimpanan yang diduga terlibat dalam kasus korupsi, telah menimbulkan silang selisih pendapat tentang dapat tidaknya dituntut karena pembocoran kerahasiaan bank.

Selanjutnya ketentuan tentang kerahasiaan bank ini diIndonesia telah dilakukan revisi dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang lebih dipersempit pengertian kerahasian bank yang terdapat dalam UU No.7 Tahun 1992 tersebut.

Dalam kaitannya dengan judul di atas berkenaan dengan:

a. Rahasia bank sebagai faktor kendala dalam pengungkapan kasus–kasus dibidang perbankan.

b. Rahasia bank disuatu pihak merupakan perlindungan hukum, namun dalam praktek sering dipandang sebagai faktor kriminogen atau faktor penyebab terjadinya tindak pidana.

Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dibahas yaitu:

  1. Apakah rahasia bank yang merupakan perlindungan hukum kepada nasabah merupakan faktor yang menimbulkan tindak pidana perbankan ?
  2. Apakah ketentuan Undang-Undang tentang kerahasian bank merupakan kendala dalam pengungkapan kasus-kasus kejahatan perbankan ?

B. Pengertian Rahasia Bank

Untuk lebih jelasnya tentang pengaturan tentang rahasia bank, maka terlebih dahulu ditinjau pengertian rahasia bank berdasarkan Undang-Undang No. 10 Perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Dalam Pasal 1 angka 16 UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dinyatakan bahwa rahasia bank adalah “segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal ini dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan”.

Pengertian “kelaziman dunia perbankan” dijelaskan dalam penjelasan Pasal 40 yaitu “seluruh data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari orang dan badan yan diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya”

Dari kedua pengertian di atas, maka terlihat bahwa pengertian rahasia bank menjadi sangat luas karena meliputi data dan informasi yang berhubungan dengan keuangan atau hal-hal lain dari nasabah baik mengenai yang simpanannya atau kredit (pinjaman) nasabah.

Namun kerahasian bank ini dikecualikan dalam hal kepentingan perpajakan, peradilan pidana, perkara perdata, tukar menukar informasi antar bank sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 40 (1) UU No.7 Tahun 1992.

“Bank dilarang memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keuangan dalam hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib diharasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44”.

Berbagai pendapat yang berkembang tentang luas cakupan rahasia bank ini, maka dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan memberi pengertian yang lebih sempit terhadap pengertian kepada rahasia bank.

Pasal 1 angka 28 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan rahasia bank adalah “segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpangan dan simpanannya”.

Berdasarkan rumusan ini, maka rahasia yang wajib disimpan oleh bank adalah rahasia dari nasabah penyimpan (penabung) tidak lagi termasuk pinjaman (kredit) dari nasabah. Namun percantuman perkataan “segala sesuatu” masih menunjukan keluasan rahasia dari nasabah penyimpan yang wajib dijaga (disimpan) oleh bank.

Pasal 40 (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengaturkan kewajiban bank sebagai berikut :

Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 41, 41A, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A

Untuk memberi penegasan bahwa rahasia yang dilindungi oleh bank hanya rahasia nasabah penyimpan, maka dalam penjelesan Pasal 40 ayat (1) ditentukan sebagai berikut:

“apabila nasabah adalah penyimpan yang sekaligus juga sebagai nasabah debitur, bank wajib merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukan sebagai nasabah penyimpan. Keterangan mengenai nasabah sebagai nasabah penyimpan bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank”

C. Pengecualian Terhadap Rahasia Bank dari Nasabah Penyimpan

Rahasia bank dari nasabah penyimpan dapat diterobos apabila menyangkut kepentingan

  1. Perpajakan

Dalam Pasal 41 UUP 1998 ditentukan bahwa untuk kepentingan perpajakan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperhatikan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada penjabat pajak.

Dengan ketentuan tersebut, maka terlihat adanya prosedur (birokrasi) yang bertambah panjang dalam memperoleh data keuangan nasabah penyimpan, mulai dari adanya permintaan dari penyidik kepada instansi pajak yang diteruskan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Keuangan, meminta kepada Bank Indonesia. Perpanjangan birokrasi ini disebabkan karena Bank Indonesia tidak lagi dibawah kekuasaan eksekutif, tetapi telah merupakan badan yang independen.

2. Penyelesaian piutang negara.

Pasal 41A UUP 1998 menyatakan bahwa untuk kepentingan penyelesaian piutang bank yang sudah diberikan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara (BPUPLN)/PUPN), Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat BPUPLN/PUPN, untuk memperoleh keterangan dari bank.

Permintaan itu dilakukan oleh kepada BPUPLN/ Ketua PUPN, dengan menyebutkan nama dan jabatan pejabat BPUPLN/PUPN, nama nasabah debitur yang bersangkutan dan alasan diperlukan keterangan tersebut. Selanjutnya Bank Indonesia memberikan izin secara tertulis.

3. Kepentingan Pemeriksaan Perkara pidana,

Dalam Pasal 42 UUP 1998, dinyatakan bahwa untuk kepentingan peradilan dalam pemeriksaan perkara pidana. Pimpinan Bank Indonesia dapat memberi izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.

Permintaan izin itu dilakukan secara tertulis oleh kepala Kepolisian Negara, Jaksa Anggota atau Ketua Makamah Agung kepada Bank Indonesia, dengan nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangka/terdakwa, alasandiperlukan keterangan itu dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.

Dalam UUP 1998 ada penambahan Pasal 42A, yang mewajibkan bank untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42A, dan Pasal 42.

4. Kepentingan Pemeriksaan Perkara perdata.

Dalam Pasal 43 UUP 1998 menentukan bahwa dalam perkara perdata antara bank dan nasabah, Direksi bank yang bersangkutan dapat memberi imformasi kepada pengadilan tentang nasabah yang bersangkutan lain yang relevan dengan perkara tersebut.

5) Tukar menukar informasi antara bank.

Dalam Pasal 44 dinyatakan bahwa dalan rangka tukar menukar informasi antar bank, Direksi bank dapat memberikan keadaan keuangan nasabahnya kepada pihak lain, yang tata caranya diatur oleh Bank Indonesia. Menurut penjelasan Pasal ini tujuan tukar menukar informasi tersebut adalah untuk memperlancar dan mengamankan usaha Bank antara lain guna mencegah kredit rangkap serta mengetahui keadaan dan status dari suatu bank yang lain. Dengan demikian bank dapat menilai tingkat resiko yang dihadapi, sebelum dilakukan suatu transaksi dengan nasabah atau dengan bank lain.

6) Permintaan tertulis nasabah penyimpan.

Menurut Pasal 44A, simpanan nasabah penyimpan dapat diberikan kepada pihak lain oleh bank jika permintaan, persetujuan atau kuasa tertulis dari nasabah penyimpan, dan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan berhak pula memperoleh keterangan dari bank tentang simpanan nasabah penyimpan tersebut.

D Rahasia Bank Sebagai Perlindungan Hukum

Faktor Kriminogen dan Kendala dalam Pengungkapan Kejahatan Bank

  1. Rahasia Bank sebagaiPerlindungan Hukum

Baik dari ketentuan dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1992 dan dengan perubahan dalam UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan, telah memberi perlindungan hukum kepada data keuangan dan keterangan lain dari nasabah bangk. Hanya saja dalam UU No 10 tahun 1998, perlindungan hukum itu diberikan kepada pihak nasabah penyimpan saja, tidak lagi diberi perlindungan kepada data keuangan dan hal lainnya nasabah debitur.

Lebih lanjut sehubungan dengan pelindungan hukum ini adalah ancaman pidana yang tercantum dalam Pasal 47 dan 47A UUP 1998. Pasal 47 ayat (1) memberi ancaman dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 tahun dan paling lama 4 tahun dengan denda sekurang-kurangnya Rp 10 Milyar dan paling banyak Rp 200 milyar, terhadap orang yang tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 40.

Pasal 40 ayat (2) mengancam dengan pidana denda sekurang kurangnya Rp 4 milyar dan paling banyak 8 milyar terhadap Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40.

Dari ketentuan, di atas terlihat bahwa perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang cukup kuat untuk menjaga agar tidak terjadi pembocoran rahasia bank tersebut.

Dilihat dari segi hakekat rahasia bank Taufik EL Rahim menulis bahwa adanya kewajiban bank untuk menyimpan rahasia dari nasabah didasarkan kepada 4 hal:

  1. Hak setiap orang atau badan untuk tidak mencampuri dalam masalah yang bersifat pribadi (personal privacy)
  2. Hak yang timbul dari hubungan perikatan antara bank dan nasabahnya wajib dan dengan itikat baik wajib untuk melindungi kepentingan nasabahnya.
  3. Bank dalam menghimpun dana dari masyarakat bekerja berdasarkan kepercayaan masyarakat dengan demikian pengetahuan bank mengenai keuangan nasabah tidak disalahkan dan wajib dijaga oleh bank.
  4. Kebiasaan dan kelaziman dalam dunia perbankan (Taufik EL Rahim, 1998:61)

Jika dikaitkan antara rahasia bank yang diatur dalam UUP, tidak terlepas dari dasar permahaman dari hakekat rahasia bank itu sendir. Oleh karena itu perlindungan hukum yang diatur dalam UUP tersebut merupakan suatu kepatutan, yang pengecualian hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang sangat diperlukan.

Ditilik dari sudut sifat kerahasian bank ada 2 teori sebagaimana dikemukakan oleh Djumhana yaitu teori rahasia bank yang bersifat mutlak dan yang bersifat nisbi.

Teori yang bersifat mutlak menghendaki bahwa bank berkewajiban menyimpan rahasia nasabah karena kegiatan usahanya dalam keadaan apapun baik dalam keadaan biasa maupun luar biasa, sedangkan teori yang bersifat nisbi memperolehkan bank membuka rahasia nasabahnya untuk kepentingan yang mendesak seperti kepentingan negara (Djumhana, 1993,111).

Negara Swiss menganut teori mutlak (absolut) dimana kepentingan individu nasabah dalam segala hal dilindungi sedemikian rupa tanpa melihat kepentingan kepentingan lain, seperti kepentingan negara. Kasus pemburuan harta kekayaan Soeharto di bank-bank Swiss sebagaimana diberitakan di media massa, juga terkait dengan rahasia bank.

UU No.10 tahun 1998 tentang Perbankan jelas menganut teori nisbi (sholehuddin,1997,74) yang membenarkan tindakan bank untuk membuka rahasia dalam beberapa kepentingan sebagaimana yang telah dibahas terdahulu.

  1. Rahasia Bank Sebagai Faktor Kriminogen

Ada berbagai tindak pidana yang terdapat terjadi karena berlindung pada rahasia bang, seperti pencurian uang (money laundering), penggelapan pajak, korupsi.

Sumarkoco menulis bahwa dengan adanya kerahasiaan bank, oleh oknum-oknum tertentu dapat digunakan sebagai payung pelindung untuk melakukan berbagai kejahatan yang sulit diungkapkan karena modus operandinya sangat canggih seiring dengan kemajuan informasi dan teknologi dewasi ini.

Bentuk kejahatan dibidang perbankan yang sering dilakukan oleh oknum-oknum tertentu (negarawan, politikus, pengusaha, dan para koruptor lainnya) adalah apa yang disebut “money laundering” (Sumarkoco S, 1990:1)

Sumitro R menulis tentang praktek Bank Swiss yang disebut dengan “mumbered account” yang merahasiakan surat-surat, penunjukkan orang-orang yang fiktif dan lain-lain sebagainya (simitro, 1977;193). Keadaan ini telah digunakan oleh oknum-oknum seperti koruptor, penyelundup pajak, bank digunakan sebagai tempat untuk menyimpan uang agar terhidar dari pengejaran oleh petugas.

Rahasia bank bukan suatu faktor yang berdiri sendiri di mana orang termotivasi untuk melakukan kejahatan, masih ada faktor lain yang mendahuluinya.

Dilihat dari sudur teori kriminologi, rahasia bank ini telah meniadakan kontrol sosial, terhadap terjadinya perbuatan-perbuatan yang menyimpan.

Reiss, membedakan dua macam kontrol yaitu personal control dan social control(Romli Atmasasmita, 1992;32). Personal Control adalah kemampuan seorang untuk menahan diri untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat, sedangkan social control atau eksternal kontrol adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga dalam masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif.

Pertanyaan yang timbul sekarang adalah apakah dengan terjadinya berbagai kejahatan dalam kaitannya dengan rahasia bank tersebut, rahasia bank itu sendiri yang ditiadakan? Hemat penulis rahasia bank itu penting, dan pencegahan kejahatan juga penting, namun meniadakan rahasia bank akan merugikan nasabah bank misalnya dalam bisnis. Jika keadaan keuangan dan hal lain dari nasabah terbuka untuk umum, maka kemukinan besar perusahaan –perusahaan yang sedang dijalankan oleh nasabah akan kehilangan kepercayaan dari pihak-pihak yang terkait dengan usaha yang sedang dijalankan, karena keadaa keuangan nasabah yang dianggap tidak bonafit, sehingga relasinya akan memutuskan hubungan dagang karena takut rugi. Padahal jika keadaan keuangan nasabah yang sedang dalam keadaan tidak baik itu tidak diketahui oleh relasinya, nasabah masih mungkin untuk memperbaiki keadaan keuangannya.

Dilain pihak kemungkinan terjadinya kejahatan lain seperti seperti penculikan dengan meminta tebusan atau pemerasan, jika keadaan keuangan setiap nasabah tidak dirahasiakan.

Pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan rahasia bank ini mungkin dapat diikuti ketentuan yang berlaku di Amerika Serikat untuk mencegah praktek money laundering dengan menanyakan asal uang yang disimpan, jika simpanan begitu banyak. Jika diketahui ada bani yang menyimpan yang yang diperoleh secara legal, bank tersebut akan di kenai sanksi (Bohari, 1999;50) Di Indonesia ketentuan yang demikian ini belum ada.

  1. Kendala Dalam Pengukapan Kasus

Ada anggapan bahwa rahasia bank merupakan salah satu kendala dalam pengungkapan kasus-kasus dibidang perbankan. Secara formal kendalanya terletak pada prosedur untuk memperoleh data dari bank karena jalur birokrasi yang telah ditetapkan dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42.

Diambil contoh jika kasus yang sedang ditangani oleh penyidik memerlukan data dan keuangan tersangka yang ada dibank , maka penyidik tidak dapat langsung meminta kepada bank yang bersangkutan data tersebut, tetapi penyidik harus menyampaikan kebutuhan itu kepada KAPOLRI untuk meminta izin kepada Bank Indonesia.

Tentunya pula seorang penyidik tidak dapat secara langsung menyurati KAPOLRI untuk keperluan tersebut, tetapi harus melalui berakhir secara vertikal. Prosedur ini dapat dipahami sebagai tindakan untuk mencegah agar tidak secara mudah orang dapat meminta data tersebut dengan alasan adanya kasus yang sedang ditangani.

Pasal 42 Undang-Undang Perbankan telah memberikan jaminan yang lebih kuat dengan memberikan penegasan bahwa data yang diminta oleh pejabat yang berwenang wajib diberikan oleh bank. Dengan demikian ketentuan ini telah memperkecil kendala yang ditimbulkan pada tingkatan yang lebih tendah.

Di lain pihak UUP 1998 telah meniadakan sama sekali kendala untuk memperoleh data dari nasabah debitur misalnya dalam kasus kredit yang bermasalah dapat diberitahukan oleh bank secara periodek secara terbuka pertanyaan adalah apakah secara aplikasi ketentuan tersebut akan dilaksanakan.

Adjitjondro berpendapat hal itu tidak berhasil karena 3 (tiga):

  1. Tranfers dana dari Swiss di Austria terjadi hampir setahun yang lalu, sekitar bulan juli 1998. Tidak ada jaminan danatidak ditransfers ketempat lain. Pemerintah B.J Habibie hampir setahun terlambat bertindak, sebab transfer dana dari Indonesia ke Austria sejak September 1998. Sumbernya adalah David Hale, analisis ekonomi Zurich Insurance yang bertempat tinggal di Chicago. Tetapi Indonesia tidak mengirim petugas untuk memperjelaskan hal itu dari David Hale.
  2. Walaupun Menteri Muladi dan jaksa Agung Andi Ghalib mengantongi surat permintaan resmi Presiden Habibie kepada kedua kepala negara Swiss dan Austria untuk membantu pelacakan itu. Surat itu tidak mempunyai efek apa-apa, kecuali Presiden Habibie secara tertulis meminta pemerintah negara Swiss dan Austria, meminta untuk membekukan semua rekening atas Soeharto dan keluarganya dan kroninya di, kedua negara. Surat itu pun harus mengacu pada UU Swiss yang sejak 1 januari 1983, mewajibkan pemerintah Swiss bekerja sama dengan negara lain dalam pemberantasan kejahatan Internasional atau UU IMAC(International Mutual Assistance in Criminal Matters). Namun syaratnya Soeharto telah dimeja hijaukan pada waktu itu belum dijadikan tersangka.
  3. Sebagai federasi dari kantong-kantong (semacam negara bahagian) pemerintah federal Swiss tidak dapat memaksa kehendaknya untuk pemerintah Marcos, mulai dicetus dari bawah yaitu Kantong Zurich pada tanggal 29 Mei 1986 yang kemudian diikuti oleh kantong Jenewa, Lausanne, Fribourg dan Berne. Hal itu tidak diusahakan oleh Indonesia. Kerahasiaan bank Swiss mulai menipis karena gempuran dari pengacara Yahudi danpengacar Marcos. Namun untuk negara Austria, sukar ditembus karena banyak berkas koruptor, dikantor, pengusaha lebih merasa aman menyimpan harta jarahannya di bank Austria, karena Austria menawarkan jaminan kerahasiaan bank yang lebih tinggi ketimbang Swiss (Tempo 9 Juni 1999)

Dari illustrasi di atas nampak bahwa kerahasian Bank di Indonesia telah lebih terbuka dibandingkan dengan negara Swiss dan Austrasi. Sehingga kendala secara peraturan perundang-undangan dapat dikatakan menjadi tidak ada lagi kecuali ada faktor ketiadaan kemauan negara sendiri untuk mengungkapkan kasus-kasus yang merugikan kepentingan umum.

Untuk mengantisipasi kendala yang timbul karena bank enggan atau tidak mau memberikan keterangan yang menyangkut rahasia bank, maka dalam Pasal 47A UUP 1998 telah mengancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 tahun dan paling lama 7 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4 Milyar dan paling banyak Rp 15 milyar, bagi Anggota Dewan Komisaris, Direksi, ataupegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42A dan 44A.

E. Penutup

Dari bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Perbankan 1998 telah mempersempit ruang lingkup rahasia bank, yaitu hanya rahasia nasabah penyimpan. Rahasia bank perlindungan hukum kepada nasabah penyimpanan tetap diakui eksestensinya namun diperlukan adanya peraturan hukum yang dapat memperkecil kemungkinan bank digunakan sebagai terminal untuk melegalkan uang yang diperoleh dari tindak pidana.

Terima Kasih

Semoga Bermaanfaat

Deny & Partners

+6281250106444

Kejahatan Cyber Crime

Tindak pidana cyber crime dapat diuraikan dalam manajemen hukum untuk tindak pidana cyber crime. Substansi hukum tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi-institusi harus berperilaku. Di mana pembentukan peraturan-peraturan yang ada untuk mengatur tindak pidanacyber crime dilakukan sedemikian rupa sehingga norma-norma tersebut tidak berdiri sendiri tetapi saling terkait dan berhubungan sehingga ada harmonisasi.

Negara Indonesia yang masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan KUHP masih dijadikan sebagai dasar hukum untuk mengatur tindak pidana cyber crime. Daya berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia masih bersifat terbatas, terutama dalam upaya menanggulangi kejahatan-kejahatan di dunia maya (cyber crime).

Untuk menanggulangi cyber crime di Indonesia, maka pada tanggal 21 April 2008, pemerintah secara resmi memberlakukan UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang di dalamnya termasuk mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang beserta sanksi dan ancaman pidananya.

Ciri-ciri khusus dari cyber crime yaitu tanpa kekerasan (non violence),  sedikit melibatkan kontak fisik (minimize of physical contact), menggunakan peralatan (equipment) dan teknologi, serta memanfaatkan jaringan telematika global (telekomunikasi, media, dan informatika).

Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa cyber crime dapat dilakukan di mana saja, kapan saja serta berdampak ke mana saja tanpa batas (borderless). Perbuatan-perbuatan yang dilarang (tindak pidana) serta ancaman pidananya menurut UU ITE yaitu Bab VII Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 UU ITE yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang.

Bab XI yang terdiri dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 yaitu kriminalisasi beserta masing-masing sanksi pidananya terhadap perbuatan yang dilarang sebagaimana yang ditentukan dalam Bab VII.

Secara garis besar perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut UU ITE dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu Non HackingHacking, dan perbuatan dilarang selain Non Hacking dan Hacking.

  1. Non Hacking
  • Perbuatan Yang Melanggar Kesusilaan (Pornografi)

1)      Dasar hukum Pasal 27 ayat (1).

2)      Ancaman pidana Pasal 45 ayat (1).

3)      Apabila menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak, dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok (Pasal 52 ayat (1)).

  • Perjudian Online (e-gambling/online gambling)

1)      Dasar hukum Pasal 27 ayat (2).

2)      Ancaman pidana Pasal 45 ayat (1).

3)      Yang dapat dikenai Pasal 27 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (1) hanya penyelenggara pengelola perjudian.

  • Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik

1)      Dasar hukum Pasal 27 ayat (3).

2)      Di dalam dunia maya (cyber), perbuatan ini dikenal dengan istilah cyber stalking, di mana pelakunya disebut cyber stalker.

3)      Kata stalking memiliki arti gangguan-gangguan yang dilakukan secara terus menerus atau tanpa henti dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan oleh pihak yang diganggu, misalnya pengiriman e-mail yang berisi kata-kata kasar atau cabul.

4)      Ancaman pidana Pasal 45 ayat (1).

  • Pemerasan dan/atau Pengancaman

1)      Dasar hukum Pasal 27 ayat (4).

2)      Pemerasan di sini sama pengertiannya dengan istilah black mail di dalam bahasa Inggris.

3)      Sedangkan pengancaman adalah menyampaikan ancaman terhadap pihak lain untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak dikehendaki oleh pihak yang diancam dan sangat mengkhawatirkan bagi pihak diancam apabila ancaman tersebut tidak dipenuhinya.

4)      Ancaman pidana Pasal 45 ayat (1).

  • Penyebaran Berita Bohong dan Penyesatan

1)      Dasar hukum Pasal 28 ayat (1).

2)      Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

3)      Ancaman pidana Pasal 45 ayat (2).

4)      Berita bohong dan menyesatkan itu harus terkait dengan transaksi elektronik.

5)      Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (2) ini dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, artinya pelaku hanya dapat dibebani pertanggungjawaban pidana apabila akibat perbuatannya yang telah terjadi mengakibatkan kerugian kepada konsumen yang melakukan transaksi elektronik (e-commerce).

  • Penyebaran Informasi Yang Bermuatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan)

1)      Dasar hukum Pasal 28 ayat (2).

2)      Bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antar individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu yang bermuatan SARA.

3)      Ancaman pidana Pasal 45 ayat (2).

4)      Tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku di sini dirumuskan sebagai tindak pidana formal.

5)      Artinya sekalipun akibat yang diinginkan oleh pelaku tidak sampai terjadi, maksudnya tidak timbul rasa kebencian atau permusuhan antar individu dan/atau masyarakat, namun si pelaku dapat dipidana.

  • Pengiriman Informasi Bermuatan Ancaman Kekerasan atau Menakut-nakuti

1)      Dasar hukum Pasal 29.

2)      Perbuatan yang diatur di dalam pasal ini dapat dikategorikan sebagai cyber terrorism.

3)      Hasil studi menyebutkan bahwa salah satu ciri dari perbuatan terorisme adalah menyebarkan ketakutan kepada sasarannya.

4)      Ancaman pidana Pasal 45 ayat (3).

  1. Hacking
  • Pembobolan Komputer dan/atau Sistem Elektronik

1)      Untuk mengakses apa saja dengan cara apa pun

a) Dasar hukum Pasal 30 ayat (1)

b) Perbuatan ini dikenal dengan nama hacking.

c) Apabila terjadi pada dunia nyata, maka hacking ibarat memasuki halaman atau tanah kosong orang lain tanpa izin pemiliknya.

d) Pelaku hacking disebut hacker.

e) Ancaman pidana Pasal 46 ayat (1).

2)      Untuk mengakses dan memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

a). Dasar hukum Pasal 30 ayat (2).

b). Ancaman pidana Pasal 46 ayat (2).

3)      Untuk mengakses dan menaklukkan sistem pengamanan dari sistem komputer yang diakses

a).Dasar hukum Pasal 30 ayat (3)

b).Ancaman pidana Pasal 46 ayat (3).

4)      Perbuatan yang dilarang oleh Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (3) dikenal dengan apa yang disebutcracking. Bedanya terletak pada tujuan pelakunya. Pada Pasal 30 ayat (2) tujuan pelakunya adalah untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Sedangkan tujuan pelaku dalam Pasal 30 ayat (3) adalah melanggar, menerobos, melampaui atau menjebol sistem pengamanan. Apabilacracking terjadi di dunia nyata maka hal tersebut sama dengan pencurian.

  • Intersepsi atau Penyadapan Atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik Yang Disimpan Dalam Komputer dan/atau Sistem Elektronik

1)      Melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain

a). Dasar hukum Pasal 31 ayat (1).

b). Ancaman pidana Pasal 47.

2)      Melakukan Intersepsi atau Penyadapan Atas Transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

a). Dasar hukum Pasal 31 ayat (2).

b). Intersepsi atau penyadapan dalam hal sedang berlangsungya transmisi atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.

c). Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak bersifat publik.

d). Intersepsi atau penyadapan itu menyebabkan maupun tidak menyebabkan terjadinya perubahan, penghilangan dan/atau penghentian atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan.

e). Ancaman pidana Pasal 47.

  • Mengusik Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

1)      Dasar hukum Pasal 32 ayat (1).

2)      Yang dimaksud dengan perbuatan mengusik informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik adalah mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.

3)      Apabila hanya mengakses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik publik (tidak bersifat rahasia), maka hal tersebut tidak dilarang. Misalnya mengakses situs hukum online, legalitas.org, dan lain sebagainya.

4)      Ancaman pidana Pasal 48 ayat (1).

5)      Dasar hukum Pasal 32 ayat (3).

6)      Apabila perbuatan mengusik tersebut mengakibatkan terbukanya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya, maka ancaman pidananya berdasarkan Pasal 48 ayat (3).

  • Memindahkan atau Mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik Kepada Sistem Elektronik Orang Lain Yang Tidak Berhak

1)      Dasar hukum Pasal 32 ayat (2).

2)      Ancaman pidana Pasal 48 ayat (2).

  • Tindak Pidana Yang Dilakukan Berakibat Terganggunya Sistem Elektronik dan/atau Mengakibatkan Sistem Elektronik Menjadi Tidak Bekerja Sebagaimana Mestinya

1)      Dasar hukum Pasal 33.

2)      Sasaran atau korban dari tindak pidana ini adalah terjadinya gangguan terhadap sistem elektronik, sehingga pengguna tidak bisa mengakses layanan internet.

3)      Tindak pidana ini dikenal dengan istilah Denial of Sevice Attack (DoS Attack) dan Distributed Denial of Service Attack (DDoS Attack).

4)      Ancaman pidana Pasal 49.

5)      Tindak pidana ini masuk kategori tindak pidana materiil, karena pelaku hanya dapat dipidana apabila akibat perbuatannya telah terjadi.

  • Membobol Komputer dan/atau Sistem Komputer Pemerintah dan/atau Untuk Layanan Publik

1)      Dasar hukum Pasal 52 ayat (2).

2)      Melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 terhadap komputer dan/atau sistem elektronik serta informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik.

3)      Pasal 52 ayat (2) ini merupakan lex spesialis dari Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 UU ITE.

4)      Ancaman pidananya dengan pidana pokok ditambah sepertiga.

  1. Perbuatan Dilarang Selain Hacking dan Non Hacking
  • Tindak Pidana Komputer Yang Menyangkut Perangkat Keras dan Perangkat Lunak

1)      Dasar hukum Pasal 34 ayat (1).

2)      Tindak pidana ini berupa memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:

  1. a)Perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.
  2. b)Sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.

3)      Ancaman pidana Pasal 50.

4)      Pengecualian oleh Pasal 34 ayat (2) apabila tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertujuan untuk penelitian, pengujian sistem elektronik, untuk perlindungan sistem elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum.

  • Tindak Pidana Komputer Yang Merugikan Orang Lain

1)      Dasar hukum Pasal 36.

2)      Melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

3)      Ancaman pidana Pasal 51 ayat (2).

4)      Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ini dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, artinya timbul kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana komputer harus sudah terjadi agar pelaku dapat dipidana.

  • Tindak Pidana Yang Dilakukan Di Luar Wilayah Indonesia Terhadap Sistem Elektronik Indonesia

1)      Dasar hukum Pasal 37.

2)      Melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap sistem elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.

3)      Pasal ini merupakan perluasan yurisdiksi dari berlakunya perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 UU ITE.

  • Tindak Pidana Komputer atau Sistem Elektronik Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Corporate Crime)

1)      Dasar hukum Pasal 52 ayat (4).

2)      UU ITE mengadopsi konsep korporasi sebagai pelaku tindak pidana (corporate crime).

3)      Apabila korporasi melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37, maka dipidana dengan pidana pokok ditambah duapertiga.

Terima Kasih

Semoga Bermanfaat

Deny & Partners

081250106444

SANKSI PIDANA PELAKU PEMBAKARAN HUTAN ATAU LAHAN

Maraknya kasus pembakaran hutan belakangan ini, salah satunya disebabkan minimnya pengetahuan terkait peraturan atau regulasi yang dikeluarkan pemerintah. selain itu, juga karena tidak sinkronnya isi dari peraturan tersebut dengan peraturan sektor lainnya, sehingga menimbulkan banyak multi tafsir.

Pakar Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo mencontohkan ketidaksinkronan itu pada penerbitan izin kehutanan oleh kepala daerah berdasarkan peraturan daerah (Undang-Undangan Otonomi Daerah). Namun, Kementerian Kehutanan melalui UU Kehutanan menyatakan, areal itu termasuk hutan konservasi.

”Secara aturan, mungkin izin bupati itu tak salah. Namun, substansinya areal itu di kawasan konservasi atau lindung. Siapa yang salah dan yang benar, tidak ada satu perundang-undangan (pokok) yang bisa menjadi acuan. Masing-masing berlindung di aturannya sendiri.

Kebakaran/pembakaran Hutan dan Lahan menimbulkan dampak terhadap kerusakan lingkungan tidak hanya sekedar musnahnya ekosistem tapi kabut asap yang ditimbulkannya menjadi monster yang merusak kehidupan, Pembakaran hutan atau lahan merupakan kejahatan yang harus diperangi secara komprehensif oleh setiap pihak. salah satu upaya untuk membalas pelaku pembakaran hutan atau lahan adalah dengan mengenakan hukuman pidana penjara dan denda semaksimal mungkin, untuk membuat jera dan menjadi pelajaran bagi yang melakukan perbuatan tersebut. Berikut adalah Pasal sanksi pidana bagi pelaku pembakaran atau orang yang membakar hutan dan lahan:

Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan:

Pasal 50 ayat (3) huruf d : Setiap orang dilarang membakar hutan

Pasal 78 ayat (3) :

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 78 ayat (4) :

Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

PEMBAKARAN LAHAN

Undang Undang No. 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 69 ayat (1) huruf h :

Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;

Pasal 108 :

Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 69 ayat (2) :

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing masing. Penjelasan Pasal 69 ayat (2) : Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Panen kebon tebu dengan cara bakar

Undang undang No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan

Pasal 56 (1) : Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar.

Pasal 108 :

Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 187

Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam: dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;

dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain;

dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan meng- akibatkan orang mati.

Pasal 189 KUHP

Barang siapa pada waktu ada atau akan ada kebakaran, dengan sengaja dan melawan hukum menyembunyikan atau membikin tak dapat dipakai perkakas-perkakas atau alat- alat pemadam api atau dengan cara apa pun merintangi atau menghalang-halangi pekerjaan memadamkan api, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Kebakaran/pembakaran  Hutan dan Lahan menimbulkan dampak terhadap kerusakan lingkungan tidak hanya sekedar musnahnya ekosistem tapi kabut asap yang ditimbulkannya menjadi monster yang merusak kehidupan, Pembakaran hutan atau lahan merupakan kejahatan yang harus diperangi secara komprehensif oleh setiap pihak. salah satu upaya untuk membalas pelaku pembakaran hutan atau lahan adalah dengan mengenakan hukuman pidana penjara dan denda semaksimal mungkin, untuk membuat jera dan menjadi pelajaran bagi yang melakukan perbuatan tersebut. Berikut adalah Pasal sanksi pidana bagi pelaku pembakaran atau orang yang membakar hutan dan lahan:
Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan:
Pasal 50 ayat (3) huruf d :

Setiap orang dilarang membakar hutan

Pasal 78 ayat (3) :

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 78 ayat (4) :

Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
Kebakaran hutan dapat penimbulkan kerusakan hutan dan pelakunya tidak hanya orang perorangan tetpi bisa juga dilkukan oleh korporasi, entah mengapa kejahatan pembakaran hutan ini tidak masuk dalam tindak pidana perusakan hutan yang diatur dalam Undang undang no 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Undang Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)

Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Kebakaran hutan atau kebakaran  lahan juga dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup dan kerusakan lingkungan hidup sehingga dapat dikenai sanksi berdasarkan UU PPLH sebagai berikut:

Pasal 69 ayat (1) huruf h UUPPLH:

Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;

Pasal 108 UUPPLH :

Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 69 ayat (2) UUPPLH :

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing masing.
Penjelasan Pasal 69 ayat (2) :
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Pasal 98 ayat (1) UUPPLH

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 98 ayat (2) UUPPLH

Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 98 ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 98 ayat (3) UUPPLH

Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 99 ayat (1) UUPPLH

Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 99 ayat (2) UUPPLH

Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 99 ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 99 ayat (3) UUPPLH

Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 99 ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).

Pasal 119 UUPPLH:

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Terima Kasih Semoga Bermanfaat

Deny & Partners

081250106444

PEDOMAN PENGANGKUTAN HASIL HUTAN KAYU


A. PENGERTIAN

  1. Kayu Bulat (KB) adalah bagian dari pohon yang ditebang dan dipotong menjadi satu atau beberapa bagian dengan ukuran diameter 50 (lima puluh) cm atau lebih.
  2. Kayu Bulat Sedang (KBS) adalah bagian dari pohon yang ditebang dan dipotong menjadi satu atau beberapa bagian dengan ukuran diameter 30 cm sampai dengan 49 cm.
  3. Kayu Bulat Kecil (KBK) adalah pengelompokkan kayu yang terdiri dari bagian dari pohon yang ditebang dan dipotong menjadi satu atau beberapa bagian dengan ukuran diameter kurang dari 30 cm atau kayu dengan diameter 30 cm atau lebih yang direduksi karena memiliki cacat berupa busuk hati dan/atau gerowong lebih dari 40%, serta kayu bakau, kayu bakar, cerucuk, tiang jermal, tunggak jati dan/atau tunggak ulin.
  4. Kayu Olahan (KO) adalah produk hasil pengolahan KB/KBS/KBK yang diolah di Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) atau Industri Pengolahan Kayu Terpadu (IPKT) berupa kayu gergajian (termasuk kayu gergajian yang diserut satu sisi atau lebih), kayu lapis (termasuk block board dan barecore), veneer, serpih/chip (termasuk wood pellet) dan Laminated Veneer Lumber (LVL).
  5. Kayu pacakan adalah kayu berbentuk persegi yang diolah di hutan yang merupakan hasil perubahan bentuk dari 1 (satu) batang KB/KBS/KBK menjadi 1 (satu) bentuk kayu persegi, bukan dalam bentuk kayu olahan gergajian (balok, papan, reng, dan kaso).
  6. Tempat Penimbunan Kayu Hutan (TPK Hutan) adalah tempat milik pemegang izin yang berfungsi menimbun Kayu Bulat (KB)/Kayu Bulat Sedang (KBS)/Kayu Bulat Kecil (KBK) dari beberapa TPn, yang lokasinya berada dalam areal pemegang izin.
  7. Tempat Penimbunan Kayu Antara (TPK Antara) adalah tempat untuk menampung KB dan/atau KBS dan/atau KBK dari 1 (satu) pemegang izin atau lebih dari 1 (satu) pemegang izin yang merupakan group, baik berupa logpond atau Logyard, yang lokasinya di luar areal pemegang izin dan berada pada hutan produksi dan/atau di luar kawasan hutan.

B. JENIS DOKUMEN ANGKUTAN HASIL HUTAN KAYU

Dokumen angkutan yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan dan digunakan untuk menyertai dalam pengangkutan, pemilikan, atau penguasaan hasil hutan kayu, terdiri dari:
a. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) dan/atau Daftar Kayu Bulat (DKB).
b. Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) dan/atau Daftar Kayu Bulat Faktur Angkutan (DKB-FA).
c. Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) dan/atau Daftar Kayu Olahan (DKO).
d. Surat Angkutan Lelang (SAL).
e. Nota Angkutan.

C. PENGGUNAAN DOKUMEN 

  1. Dokumen angkutan berlaku untuk :
    a. 1 (satu) kali penggunaan;
    b. 1 (satu) pemilik;
    c. 1 (satu) jenis komoditas hasil hutan;
    d. 1 (satu) alat angkut atau rangkaian alat angkut atau peti kemas; dan
    e. 1 (satu) tujuan pengangkutan.
  2. Dalam 1 (satu) alat angkut dapat digunakan untuk mengangkut hasil hutan kayu dengan lebih dari satu dokumen angkutan.
  3. Pengangkutan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dapat dilakukan apabila setiap partai kayu pada alat angkut tersebut dapat dipisahkan atau dibatasi berdasarkan dokumen yang menyertainya.
  4. Penggunaan 1 (satu) alat angkut yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada angka (1) huruf d, tidak berlaku bagi pengangkutan yang mengalami transit dan perubahan alat angkut.
  5. Dalam hal pengangkutan hasil hutan kayu menggunakan beberapa peti kemas dalam satu alat angkut, maka setiap peti kemas harus dilengkapi dengan dokumen SKSKB atau FAKB untuk kayu bulat, dan untuk kayu olahan dengan dokumen FA-KO.

D. PENGANGKUTAN KB/KBS/KBK DARI TPK HUTAN

  1. Pengertian melakukan pengangkutan adalah proses yang dimulai dari memuat, memasukkan, atau membawa hasil hutan ke dalam alat angkut dan alat angkut yang membawa hasil hutan bergerak ke tempat tujuan dan membongkar, menurunkan, atau mengeluarkan hasil hutan dari alat angkut.
  2. Pengertian kelompok kayu lainnya yang termasuk KBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 34 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.41/Menhut-II/2014 antara lain berupa kayu bakau, kayu bakar, cerucuk, tiang jermal, tunggak jati alam/tunggak ulin, limbah pembalakan.
  3. Setiap pengangkutan hasil hutan dari hutan alam berupa KB/KBS/KBK dari TPK hutan dengan tujuan ke tempat lain di luar areal izin, wajib disertai bersama-sama dengan dokumen SKSKB.
  4. SKSKB sebagaimana dimaksud angka 3 wajib dilampiri DKB yang dibuat sebelum proses memuat, memasukkan, atau membawa hasil hutan ke dalam alat angkut.
  5. DKB sebagaimana dimaksud pada angka 4 berfungsi sebagai dokumen angkutan untuk melindungi hasil hutan mulai pada saat proses memuat, memasukkan, atau membawa hasil hutan ke dalam alat angkut sampai ke tempat tujuan pengangkutan.
  6. Dalam hal pengangkutan tidak dapat dilakukan secara langsung karena kapal pengangkut utama tidak dapat merapat ke tempat pemuatan/TPK Hutan, penerbitan SKSKB diatur sebagai berikut :
    a. Terhadap seluruh kayu yang akan dimuat ke kapal pengangkut utama, terlebih dahulu dibuat DKB yang ditandatangani oleh GANISPHPL.
    b. P2SKSKB melaksanakan pemeriksaan terhadap kayu yang akan dimuat sebagaimana tercantum dalam DKB, dan selanjutnya menandatangani DKB.
    c. Pengangkutan dari TPK Hutan ke kapal pengangkut utama disertai dengan DKB yang sudah ditandatangani oleh GANISPHPL dan P2SKSKB.
    d. Penerbitan SKSKB dilakukan setelah seluruh kayu yang tercantum dalam DKB telah termuat ke dalam kapal pengangkut utama.
    e. Dalam hal kayu yang tercantum dalam DKB tidak dapat termuat seluruhnya, maka dibuat DKB baru sesuai jumlah kayu yang termuat sebagai dasar penerbitan SKSKB.
  7. Dalam hal pengangkutan KB/KBS/KBK dari TPK Hutan yang dilakukan secara manual/non mekanis atau dengan cara menghanyutkan batang per batang mengikuti aliran air/arus sungai, mekanisme penerbitan SKSKB diatur sebagai berikut :
    a. Terhadap seluruh kayu yang akan dihanyutkan terlebih dahulu diterbitkan SKSKB dan DKB.
    b. Dalam hal terdapat kayu yang hilang dalam perjalanan, maka SKSKB tersebut dibatalkan berdasarkan Berita Acara Kehilangan yang dibuat oleh Penerbit SKSKB dan pemegang izin.
    c. Berdasarkan Berita Acara dan pembatalan SKSKB sebagaimana dimaksud pada huruf b, diterbitkan SKSKB baru sesuai jumlah kayu yang terangkut.
    d. Masa berlaku SKSKB dengan memperhitungkan waktu tempuh normal dimulai dari kayu dihanyutkan secara bertahap sampai dengan kayu tiba di tujuan.
    e. Dalam hal kayu yang hilang sebagaimana dimaksud pada huruf c ditemukan kembali, kayu tersebut dinyatakan sebagai kayu temuan dan diproses sesuai ketentuan yang berlaku.

E. PENGANGKUTAN KB/KBS/KBK KE INDUSTRI DALAM AREAL IUPHHK-HA 

  1. Pengangkutan KB/KBS/KBK yang akan diolah pada industri sah yang berada di dalam areal IUPHHK-HA, diperlakukan sebagai berikut :
    a. Seluruh KB/KBS/KBK yang siap diangkut harus telah disahkan LHP-nya dan telah dilunasi PSDH, DR dan atau PNT.
    b. Seluruh KB/KBS/KBK yang akan diangkut dari TPK Hutan ke lokasi industri menggunakan dokumen SKSKB.
    c. Selanjutnya SKSKB dimatikan dan dilakukan pemeriksaan fisik oleh P3KB di TPK Industri sesuai ketentuan yang berlaku.
    d. Lokasi TPK Industri harus terpisah dengan TPK Hutan.
  2. Khusus untuk pengangkutan kayu bakau dari TPK Hutan ke industri dalam areal kerja IUPHHK-HA, penerbitan SKSKB diatur sebagai berikut :
    a. Seluruh kayu yang akan diangkut harus sudah disahkan LHP-nya dan dibayar lunas PSDH, DR dan/atau PNT.
    b. Seluruh kayu yang akan diangkut terlebih dahulu diterbitkan SKSKB.
    c. Pengangkutan kayu dapat dilakukan secara bertahap dengan disertai FA-KB yang merupakan bagian dari SKSKB.
    d. FA-KB yang telah sampai di lokasi industri dimatikan oleh GANISPHPL.
    e. Kumpulan FA-KB dicocokkan dengan SKSKB dan selanjutnya SKSKB dimatikan oleh P3KB dan dilanjutkan pemeriksaan fisik sesuai ketentuan yang berlaku.
    f. Dalam pengangkutan secara bertahap, kayu yang telah sampai di industri tidak dapat diolah sebelum dilakukan pemeriksaan fisik.

F. PENGANGKUTAN LANJUTAN KB/KBS/KBK. 

  1. Pengangkutan lanjutan KB/KBS/KBK dari TPK Antara/TPT-KB/IUIPHHK ke semua tujuan menggunakan FA-KB pengirim.
  2. Setiap pengangkutan KB/KBS/KBK dari TPK-IUIPHHK yang terpisah dengan lokasi industri ke industri bersangkutan, menggunakan Nota Angkutan.

G. PENGANGKUTAN KB/KBS/KBK DARI POHON YANG TUMBUH ALAMI PADA LAHAN YANG TELAH DIBEBANI HAK ATAS TANAH. 

  1. Pengangkutan KB/KBS/KBK dari pohon tumbuh alami sebelum terbitnya alas titel/hak atas tanah disertai SKSKB yang diterbitkan oleh P2SKSKB.
  2. Dalam hal pengangkutan KB/KBS/KBK dari lahan masyarakat yang memiliki pohon yang tumbuh alami sebelum terbitnya alas titel/hak atas tanah, mengalami kesulitan karena tidak memiliki alat berat atau tidak efisien dalam pengangkutannya, maka KB/KBS/KBK dengan potensi; 50 m3 dapat diolah di TPK Hutan dengan menggunakan gergaji mekanis atau non mekanis menjadi kayu pacakan, mengikuti ketentuan sebagai berikut :
    a. Seluruh KB/KBS/KBK yang siap diolah harus sudah disahkan LHP-nya dan telah dilunasi PSDH, DR dan/atau PNT.
    b. Terhadap KB/KBS/KBK yang diolah menjadi kayu pacakan, wajib dibuatkan Berita Acara Perubahan Bentuk yang ditandatangani oleh P2SKSKB dan pemegang izin/pemilik kayu.
    c. Pengangkutan kayu pacakan dari tempat pengolahan di hutan ke tujuan lain di luar hutan, wajib menggunakan SKSKB dengan dilampiri Daftar KB/KBS/KBK asal dan dibubuhi cap “PACAKAN” pada sudut kanan atas dan disertai Berita Acara Perubahan Bentuk.
    d. Pengangkutan sebagaimana dimaksud huruf c hanya diperkenankan dengan tujuan industri primer dan industri terpadu, dan tidak diperkenankan untuk tujuan industri lanjutan.
    e. Pengangkutan lanjutan kayu pacakan dapat menggunakan dokumen FA-KB dari pemegang izin/pemilik kayu bersangkutan atau menggunakan SKSKB dengan dibubuhi cap “PACAKAN”.

H. PENGANGKUTAN KAYU OLAHAN 

  1. Setiap kayu olahan berupa kayu gergajian (termasuk kayu gergajian yang diserut satu sisi atau lebih), kayu lapis (termasuk block board dan barecore), veneer, serpih/chips (termasuk wood pellet) dan Laminated Veneer Lumber (LVL) yang diangkut dari dan/atau ke industri  primer/industri lanjutan/industri terpadu wajib disertai bersama-sama FA-KO.
  2. Pengangkutan kayu olahan dari industri primer/industri terpadu/industri lanjutan/TPT-KO yang akan mengirim kayu gergajian ke dan dari tempat pengeringan kayu (jasa kiln dry) yang bukan industri pengolahan kayu menggunakan FA-KO milik industri primer/industri terpadu/industri lanjutan/TPT-KO yang bersangkutan.
  3. Industri lanjutan sebagaimana dimaksud pada angka 1, industrinya wajib terdaftar sebagai TPT-KO di Dinas Kabupaten/Kota dan memiliki GANISPHPL sesuai kompetensinya.
  4. Pengangkutan kayu olahan dari TPT-KO dengan tujuan selain industri pengolahan kayu menggunakan Nota Angkutan.
  5. Pengangkutan produk kayu olahan lanjutan dari industri lanjutan menggunakan Nota Perusahaan.
  6. Pengangkutan kayu olahan dan kayu olahan lanjutan dari pedagang pengecer (toko material) ke konsumen selain tujuan industri pengolahan kayu, menggunakan Nota Perusahaan.

I. PENGANGKUTAN KAYU DAUR ULANG 

  1. Pemilikan kayu daur ulang dibuktikan dengan Berita Acara yang dibuat oleh pemilik kayu.
  2. Pengangkutan kayu daur ulang dari TPK Hutan ke semua tujuan di luar areal pemegang izin menggunakan Nota Angkutan yang diterbitkan oleh GANISPHPL pada pemegang izin sesuai kompetensinya.
  3. Kebenaran fisik dan jenis kayu sebagaimana dimaksud pada angka 2, menjadi tanggung jawab sepenuhnya pemilik dan/atau pembawa kayu.

J. PENGANGKUTAN ARANG KAYU

  1. Pengangkutan arang kayu yang berasal dari dapur pengolahan ke tempat pengumpulan atau konsumen, menggunakan Nota Angkutan yang diterbitkan oleh pemilik dapur pengolah arang.
  2. Dapur pengolah arang sebagaimana dimaksud pada angka 1, wajib terdaftar di Dinas Kabupaten/Kota setempat.
  3. Pengangkutan lanjutan arang kayu dari tempat pengumpulan ke tujuan lain, menggunakan Nota Angkutan yang diterbitkan oleh pemilik/penjual arang kayu.
  4. Pengangkutan lanjutan arang kayu transit di pelabuhan/dermaga ke tujuan pembeli, menggunakan Nota Angkutan yang diterbitkan oleh penerima arang kayu.

K. PENGANGKUTAN KAYU LELANG

  1. Pemilikan kayu hasil lelang dibuktikan risalah lelang.
  2. Pengangkutan KB/KBS/KBK/KO/Pacakan dari hasil lelang, baik sekaligus maupun secara bertahap, wajib disertai dokumen angkutan berupa Surat Angkutan Lelang (SAL) berdasarkan hasil risalah lelang sesuai dengan jumlah kayu yang akan diangkut.
  3. SAL sebagaimana dimaksud pada angka 2 diterbitkan oleh WAS-GANISPHPL sesuai kompetensinya yang ditugaskan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
  4. Pengangkutan lanjutan hasil hutan lelang untuk kayu bulat menggunakan FA-KB, sedangkan untuk kayu olahan menggunakan Nota Angkutan.

L. PENGANGKUTAN KAYU LOKAL/BANTUAN BENCANA 

  1. Pengangkutan kayu lokal dari sumber-sumber yang sah untuk kepentingan umum/masyarakat menggunakan SKSKB cap “Kalok” yang diterbitkan oleh WAS-GANISPHPL PKB dari Dinas Kabupaten/Kota setempat.
  2. Pengangkutan kayu lokal dari sumber-sumber yang sah untuk bantuan bencana berupa kayu bulat menggunakan SKSKB cap “Bantuan Bencana” sedangkan untuk kayu olahan menggunakan FA-KO.
  3. Dalam hal kayu bulat sebagaimana dimaksud pada angka 2 diolah oleh industri primer menjadi kayu olahan, pengangkutan kayu olahannya disertai bersama-sama FA-KO industri dengan diberi cap “Bantuan Bencana”.
  4. Dalam hal di lokasi bencana tidak terdapat industri sebagaimana dimaksud angka 3, maka kayu bulat dapat diolah secara mekanis atau non mekanis di lokasi bencana, dan untuk pengangkutan hasil olahannya dikeluarkan surat keterangan oleh Dinas Kabupaten/Kota setempat.

M. PENGANGKUTAN DARI PELABUHAN/DERMAGA 

  1. Pengangkutan hasil hutan kayu yang menggunakan alat angkut kapal/tongkang dan melalui pelabuhan umum/dermaga, untuk pengangkutan lanjutan ke tujuan sebagaimana tercantum dalam SKSKB/FA-KB/FA-KO/SAL, menggunakan Nota Angkutan yang diterbitkan oleh penerima kayu di tempat tujuan.
  2. Setiap penerbitan Nota Angkutan sebagaimana dimaksud pada angka 1 disertai copy SKSKB/FA-KB/FAKO/SAL asal dan merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dengan SKSKB/FA-KB/FA-KO/SAL bersangkutan.
  3. Kumpulan Nota Angkutan di tempat tujuan akhir pengangkutan beserta SKSKB/FA-KB/FAKO/SAL asal dilakukan pencocokan dan pemeriksaan fisik sesuai ketentuan.
  4. Dalam hal pengangkutan lanjutan KB/KBS/KBK/KO transit dan bongkar di pelabuhan umum/dermaga mengalami perubahan tujuan sebagian atau seluruhnya, maka diatur mekanisme sebagai berikut:
    a. Penatausahaan hasil hutan di pelabuhan umum/dermaga disetarakan dengan penatausahaan hasil hutan di TPK meliputi kegiatan penerimaan dan mematikan dokumen, penerbitan dokumen, pembuatan rekapitulasi penerbitan FA-KB/Nota Angkutan, dan pembuatan laporan mutasi kayu.
    b. Setelah menerima dokumen SKSKB/FA-KB/FA-KO/SAL, GANISPHPL penerima kayu mematikan dokumen, mengisi kolom penerimaan dan membuat Berita Acara perubahan tujuan yang diketahui pimpinan perusahaan atau pegawai perusahaan penerima kayu setingkat manager.
    c. Berita Acara sebagaimana dimaksud pada huruf b menggunakan format yang ditetapkan.
    d. GANISPHPL sebagaimana dimaksud pada huruf b menerbitkan FA-KB/Nota Angkutan untuk setiap alat angkut sesuai tujuan masing-masing dan membuat rekapitulasi penerbitan FA-KB/Nota Angkutan.
    e. Pengangkutan lanjutan KB yang berasal dari SKSKB/FA-KB/SAL menggunakan FA-KB
    f. Pengangkutan lanjutan KO yang berasal dari FA-KO/SAL menggunakan Nota Angkutan.
    g. Kesesuaian dokumen SKSKB/FA-KB/FA-KO/SAL asal dengan dokumen baru menjadi tanggung jawab manager perusahaan penerima kayu dengan membuat surat pernyataan perubahan tujuan di atas materai.
    h. Dalam hal terdapat ketidaksesuaian KB/KBS/KBK/KO dengan SKSKB/FA-KB/FA-KO/SAL asal, maka penerima sebagaimana tercantum pada SKSKB/FA-KB/FA-KO/SAL asal melaporkan KB/KBS/KBK/KO yang tidak sesuai kepada Dinas Kabupaten/Kota.

Terima Kasih

Semoga Bermaanfaat

Deny & Partners

081250106444

SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN (SKSHH)

 dokumen ijin angkut kayu

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan tidak menjelaskan tentang Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan(SKSHH),  namun hal tersebut  diatur dalamPeraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.55/MENHUT-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara  pada pasal 1 angka 49. Dalam pasal 1 angka 49 tersebut yang dimaskud dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan;

Dalam pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.55/MENHUT-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara disebutkan bahwa Dokumen Legalitas yang digunakan dalam pengangkutan Hasil hutan terdiri dari :

  1. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB);
  2. Faktur Angkutan Kayu Bulat ( FA-KB);
  3. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK);
  4. Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO);

Pasal 4  ayat (1) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.33/Menhut-II/2007 tentang perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak, disebutkan bahwa SKAU sebagai dokumen legalitas digunakan untuk pengangkutan kayu bulat rakyat dan kayu olahan rakyat yang  diangkut langsung dari hutan hak atau lahan masyarakat;

Jenis kayu bulat rakyat atau kayu olahan rakyat yang pengangkutannya menggunakan dokumen SKAU jenisnya ditentukan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.33/Menhut-II/2007, sedangkan pengangkutan lanjut kayu bulat rakyat/kayu olehan rakyat menggunakan nota yang diterbitkan oleh pemilik kayu dengan mencantumkan nomor SKAU asal;

Pasal 5 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.33/Menhut-II/2007 disebutkan SKAU diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau Pejabat setara/Pejabat Lain di Desa tersebut dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut, sedangkan Pejabat Penerbit SKAU ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas Kabupaten/Kota;

Pengangkutan kayu rakyat di luar jenis-jenis yang menggunakan SKAU dan Nota menggunakan Dokumen Pengangkutan kayu SKSKB cap ‘KR” . Dokumen SSKB cap KR itu digunakan Untuk pengangkutan kayu dalam bentuk kayu bulat, Namun apabila kayu tersebut sudah berubah bentuk menjadi kayu olahan maka pengangkutan kayu rakyat dalam bentuk olahan masyarakat (pengolahan secara tradisional), menggunakan SKSKB cap ” KR ” dengan dilampiri BAP perubahan bentuk dari kayu bulat menjadi kayu olahan yang dibuat oleh pemilik kayu dengan diketahui P2SKSKB.

Lampiran : Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor    : P.33/Menhut-II/2007

Tanggal   : 24 Agustus 2007

DAFTAR JENIS-JENIS KAYU BULAT RAKYAT ATAU KAYU OLAHAN RAKYAT

YANG PENGANGKUTANNYA MENGGUNAKAN SURAT KETERANGAN ASAL USUL (SKAU)

No. Nama Perdagangan Nama Botani Keterangan
1 Akasia Acasia sp Kelompok akasia
2 Asam Kandis Celebium dulce
3 Bayur Pterospermum javanicum Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera Barat
4 Durian Durio zibethinus
5 Ingul/Suren Toona sureni
6 Jabon/Samama Anthocephalus sp
7 Jati Tectona grandis Tidak berlaku untuk Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Sulawesi Tenggara, NTT dan NTB
8 Jati Putih Gmelina arborea
9 Karet Hevea braziliensis
10 Ketapang Terminalia catappa
11 Kulit Manis Cinamomum sp
12 Mahoni Swietenia sp Tidak berlaku untuk Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, NTT dan NTB
13 Makadamia Makadamia ternifolia
14 Medang Litsea sp Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera Barat
15 Mindi Azadirachta indika
16 Kemiri Aleurites mollucana sp Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera Utara
17 Petai Parkia javanica
18 Puspa Schima sp
19 Sengon Paraserianthes falcataria
20 Sungkai Peronema canescens
21 Terap/Tarok Arthocarpus elasticus Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera Barat

Terima Kasih

Semoga Bermanfaat

Deny & Partenrs

0812501006444

Perkawinan Beda Kewarganegaran

Perkawinan2

  1. Dasar

Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan

  1. Latar Belakang

Perkawinan beda kewarganegaraan atau kebangsaan merupakan hal yang tidak aneh lagi di Indonesia. Banyak wanita atau pria kebangsaan Indonesia yang menikah dengan pria atau wanita yang berkebangsaan lain. Menurut Undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 pernikahan campuran adalah pernikahan antara 2 orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan , karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarga negaraan Indonesia.

Penentuan sistem kewarganeagaraan yang dianut di dunia ada dua yaitu (Ius sanguinis) kewarganegaraa tunggal yang berdasarkan asas keturunan dan (Ius soli) yang berdasarkan tempat kelahiran. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan Bipatrida atau kewarganegaraan yang ganda dan apatrida yaitu tanpa kewarganegaraan. berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin maka anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Kewarganegaraan ganda terbatas yang diberikan kepada anak hasil dari suatu perkawinan campuran dikarenakan apabila terdapat suatu perceraian atau putusnya perkawinan karena kematian maka anak tersebut masih memiliki status kewarganegaraan, sehingga orang tuanya tidak perlu lagi memelihara anak asing. Jadi, Undang–undang baru ini lebih memberikan perlindungan, dan status kewarganegaraan anak yang dilahirkan dari “ perkawinan campur” juga jadi lebih jelas.

  • Pembahasan

Banyak hal yang harus kita pahami mengenai perkawinan beda kewarganegaraan atau yang biasa disebut perkawinan campuran. Disini saya akan mengkaji perkawinan beda kewarganegaraan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Ketertarikan membahas hal ini adalah banyaknya rekan-rekan ataupun saudara yang menanyakan mengenai prosedur perkawinan beda kewarganegaraan atau bagaimana status anak secara hukum yang diakuin di indonesia.

Apakah Pengertian perkawinan campuran itu?

Menurut Pasal 57 UU Perkawinan, yang dimaksud dengan Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, Perkawinan seorang warga negara Indonesia (WNI), dengan warga negara asing (WNA) merupakan perkawinan campuran. Namun, apabila  perkawinan dilakukan antara dua orang warga negara Indonesia yang berbeda agama, bukan merupakan perkawinan campuran.

Bagaimana dasar hukum perkawinan campuran Di Indonesia?

Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dasar hukumnya adalah Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan (pasal 59 ayat 1).  Di dalam pasal 60 UU menyebutkan bahwa Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Bagaimana apabila perkawinan campuran tersebut dilangsungkan di luar Indonesia?

Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara seorang WNI dengan seorang WNA adalah sah bilamana dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan. Dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diatur dalam pasal 56 ayat 1 yang berbunyi:

“Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini”

Retno S. Darussalam, S.H. di dalam klinik hukumonline menyatakan, bila perkawinan campuran akan dilakukan di luar Indonesia, tentunya harus mengikuti aturan mengenai perkawinan yang berlaku di negara tersebut dan selanjutnya dicatatkan pada institusi Catatan Sipil setempat. Selama para pihak telah melaksanakan pencatatan perkawinan di luar negeri sesuai hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan tersebut dilangsungkan, maka perkawinan adalah sah dengan segala akibat hukumnya. Akibat hukum di sini, misalnya status mengenai anak, harta perkawinan, pewarisan, hak dan kewajiban suami-istri bila perkawinan berakhir karena perceraian dan/atau sebagainya. Namun, untuk sahnya perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tersebut menurut hukum Indonesia harus dilakukan pencatatan dan pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.

Bagaimana apabila melewati dari waktu yang telah ditetapkan?

Apabila lewat dari waktu yang ditetapkan maka harus melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili yang bersangkutan dan akan dikenai sanksi denda sesuai dengan Peraturan Daerah setempat juncto pasal 107 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil  yang berbunyi:

  1. Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2), Pasal 105 ayat (2) dan Pasal 106 diatur dalam Peraturan Daerah.
  2. Penetapan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan memperhatikan Ketentuan Undang-Undang dan kondisi masyarakat di daerah masing-masing.
  3. Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan daerah Kabupaten/Kota, dan bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan penerimaan daerah Provinsi.”

Bagaimana dampak dari perkawinan campuran?

Dampak dari perkawinan campuran ini adalah mengenai status kewarganegaraan dari perempuan WNI maupun anak-anak yang lahir kemudian hari.  Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan) dinyatakan: “Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti Kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut”.

Namun bagi perempuan WNI yang masih ingin memegang Kewarganegaraan Indonesia-nya, Pasal 26 (3) UU menyatakan: ”Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda”.

Sehingga perempuan WNI yang ingin mempertahankan Kewarganegaraannya dapat mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap berkewarganegaraan Indonesia kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang berwenang di tempat tinggal pihak suami WNA. Surat pernyataan tersebut diajukan perempuan WNI setelah tiga tahun sejak tanggal perkawinan berlangsung [pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan].

Perlu diperhatikan bahwa pengajuan  tersebut tidak boleh mengakibatkan WNI menjadi berkewarganegaraan ganda (bipatride). WNI tersebut harus melepaskan status kewarganegaraan yang didapatkan dari perkawinan campuran tersebut, barulah kemudian WNI dapat mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap berkewarganegaraan Indonesia.

Bagaimana status anak kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran?

Menurut UU Kewarganegaraan Baru

  1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran

Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:

  1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
  2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
  3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
  4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.

  1. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran

Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.

Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.

Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.

Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.

  1. Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru

Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara asing).

“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.

Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut : “Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.

Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.

Anak dari perkawinan campuran bisa memiliki status kewarganegaraan ganda. Menurut Dinna Sabriani di dalam artikel tanya jawab klinik hukumonline, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhukham) mempermudah proses penyampaian pernyataan memilih kewarganegaraan bagi anak yang memiliki kewarganegaraan ganda. Anak yang lahir dari pasangan berbeda warga negara, salah satunya, WNI, bisa memiliki kewarganegaraan ganda hingga berusia 18 tahun. Paling lambat tiga tahun setelah mencapai usia 18 tahun atau sudah kawin, si anak harus menyatakan memilih kewarganegaraannya. Mau pilih WNI atau menjadi warga negara asing, negara asal ayah atau ibunya. Lewat Peraturan Menhukham No. M.HH-19.A.H.10.01 Tahun 2011, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menegaskan pernyataan memilih kewarganegaraan dapat dilakukan bukan hanya di Kementerian Hukum dan HAM, tetapi juga di kantor-kantor wilayah keimigrasian yang tersebar di wilayah Indonesia. Bahkan, pernyataan memilih dapat disampaikan di luar negeri, lewat kantor perwakilan Indonesia atau di tempat lain yang ditentukan oleh Menteri. Kantor perwakilan Indonesia yang punya kewenangan adalah kantor yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Jika memilih menjadi WNI, si anak harus mengajukan pernyataan memilih yang formulirnya tersedia di kantor-kantor imigrasi. Jika si anak memilih WNI atau affidavitnya dicabut maka ia berhak menyandang status WNI, yang ditetapkan lewat Surat Keputusan Menteri.

Ada dua kategori anak yang harus memilih status kewarganegaraan. Batasannya adalah pengesahan UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

  • Anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006, adalah mereka yang sudah mengantongi Surat Keputusan Menhukham tentang kewarganegaraan.
  • Anak yang lahir sesudah 1 Agustus 2006, yang memiliki affidavit.

Dalam konteks ini, affidavit adalah surat keimigrasian yang dilekatkan atau disatukan pada paspor asing yang memuat keterangan sebagai anak berkewarganegaraan ganda. Pemegang affidavit mendapatkan fasilitas keimigrasian saat keluar masuk Indonesia.

Jika anak berkewarganegaraan ganda memilih menjadi Warga Negara Asing (WNA), maka pernyataan itu harus disampaikan kepada pejabat atau perwakilan Indonesia  yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal si anak. Jika selama ini anak tersebut sudah memegang paspor Indonesia, maka paspor itu harus dicabut. Demikian pula jika anak tersebut memiliki affidavit, maka surat itu harus dicabut pejabat yang menerima pernyataan memilih menjadi WNA. Sang pejabat kemudian menyampaikannya ke Ditjen Imigrasi. Petugas akan memutakhirkan data sistem informasi keimigrasian.

Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda di Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).

Terima Kasih

SAKSI MAHKOTA DALAM PERADILAN

310520_gallery_54a9db290d01f_jpg_fa_rszd

Dalam kapasitasnya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum materil maka KUHAP sebagai hukum formil telah memiliki sistem pembuktian tersendiri yang mengacu pada alat bukti yang sah sebagaimana diterangkan dalam pasal 184 KUHAP, yaitu yang dimaksud alat bukti yang sah adalah :

a).keterangan saksi ;

b).keterangan ahli ;

c). surat ;

d). petunjuk dan

e). keterangan terdakwa.

Secara umum pengertian saksi menurut Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP), di atur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP. Pengertian saksi itu sendiri tidak ubahnya definisi hukum, masih banyak yang mengartikan dari berbagai sudut keilmuan, namun sebagai bahan acuan dasar sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) memberikan rumusan tentang saksi yaitu :

Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan  ia alami sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia saksi adalah orang yang melihat dan mengetahui sendiri suatu peristiwa, atau orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu pidana yang didengarnya, dilihat, atau dialaminya sendiri.

Pengertian saksi berdasarkan  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diatur dalam Pasal 1 angka 1 yaitu :

Saksi yaitu orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan tentang hal-hal yang ia dengar sendiri, ia alami sendiri atau ia ketahui yang berkenan dengan suatu tindak pidana.

Sedangkan istilah ’saksi mahkota’ tidak terdapat dalam KUHAP. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai ’saksi mahkota’ (kroon getuide) namun dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada. Di sini yang dimaksud ”saksi mahkota” didefinisikan adalah ;”saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota.

Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut”. Dan saksi mahkota ini hanya ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan.

Menurut Subekti  (1976 : 83), saksi adalah orang yang didengar keterangannya dimuka sidang pengadilan, yang dapat membantu tugas pengadilan yang sedang berperkara.

Suryono Sutarto (1982 : 42), saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Jubair (2003 : 3), memberikan definisi bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Dalam dunia hukum pengertian saksi semakin berkembang, karena orang-orang yang sekedar mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan tindak pidana saja sudah dimasukan kategori saksi sehingga untuk mereka dapat dimintai keterangan. Sebaliknya dalam beberapa undang-undang tindak pidana khusus dikemukakan istilah saksi dan pelapor. Sebagai pelapor tidak diajukan ke persidangan, bahkan menurut undang-undang tersebut mereka wajib dilindungi identitas dan alamatnya, apabila saksi membuka identitas tersebut maka saksi diancam dengan sanksi pidana (Surastini Fitriasih, 2001 : 8).

Pengertian saksi dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengalami perluasan yaitu pelapor. Saksi dalam undang-undang ini biasa juga dikenal dengan istilah informan yaitu orang yang memberikan informasi kepada pihak kepolisian tentang adanya tindak pidana narkotika dan turut membantu pihak kepolisian dalam mengungkap tindak pidana narkotika.

Harkristuti (Surastini Fitriasih, 2001 : 3), menyatakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian keterangan oleh seorang saksi, yaitu :

  1. Unreliable witnees

                           Penelitian yang dilakukan oleh Maguire dan Norris menunjukan bahwa ada saat-saat dimana saksi dipersuasi untuk menyampaikan keterangan untuk memperkuat posisi Jaksa, terutama jika saksi menghadapi ancaman pidana juga.

      2Witness as product of bullying and harassment

                           Kemungkinan adanya metode tertentu oleh polisi atau penegak hukum lainnya meminta keterangan, misalnya pertanyaan yang berulang-ulang dan tidak relevan, yang diajukan dalam jangka waktu yang panjang tanpa jeda yang layak.

        3.  Lying witness

                           Tidak menutup kemungkinan adanya saksi yang mengatakan bukan hal yang sebenarnya, walaupun ia ada dibawah sumpah, baik karena ia telah disuap ataupun karena ia di intimidasi pihak tertentu.

        4.  Silent witness

                           Saksi yang khawatir akan menyudutkan dirinya sendiri dan menolak memberikan jawaban yang sesungguhnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain dalam kasus penyertaan yang melibatkan dirinya.

         5.  Incompetent witness 

                           Saksi dalam kategori ini tentunya keterangannya tidak layak menjadi alat bukti yang sah dipengadilan karena saksi tersebut infantmental diseas atau mental defect.

          6.  Urn-coat witness 

         Saksi yang semula diduga akan membela terdakwa kemudian ternyata ia melakukan yang sebaliknya, sesuatu yang diluar dugaan dengan penasehat hukum. Dibeberapa negara seorang penasehat hukum tidak dapat menarik kembali saksi yang diajukannya sendiri, karena dengan mengajukan saksi berarti ia telah memastikan akan kredibilitas saksi.

Selanjutnya, mengenai istilah saksi mahkota tidak terdapat definisi otentik dalam KUHAP, namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota di definisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi  yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. (Lilik Mulyadi, 2007 : 85-86).

Menurut Loebby Loqman, (1995 : 2), saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan. Saksi mahkota dapat di definisikan adalah saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang sama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana saksi tersebut diberikan mahkota.

Sejalan dengan itu, Syaiful Bahkri (2009 : 66), menjelaskan bahwa pada hakikatnya saksi mahkota adalah saksi yang diambil dari salah seorang tersangka/terdakwa yang kepadanya diberikan suatu mahkota.

M.Yahya Harahap (2005 : 321), memberikan pengertian bahwa saksi makota adalah saksi yang juga merupakan terdakwa pada kasus yang sama dipengadilan rekannya yang merupakan sesama terdakwa. Keterangannya digunakan sebagai alat bukti kesaksian yang sah secara timbal balik, dimana berkas perkara harus dipisah (di-split).

Saksi mahkota biasanya diajukan oleh penuntut umum jika mengalami kesulitan atau kekurangan alat bukti untuk mencari siapa sesungguhnya pelaku atau untuk membuktikan kebenaran tuduhannya. Saksi mahkota ini biasanya diterapkan untuk suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari seorang pelaku, di mana seorang dari mereka dijadikan saksi yaitu sebagai saksi mahkota. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. (Loebby Loqman, 1995 : 5).

Andi Hamzah mengemukakan definisi atau pengertian dari saksi mahkota adalah seorang terdakwa (biasanya yang paling ringan kesalahannya) dijadikan (dilantik) menjadi saksi, dan diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi. Atau lebih mudahnya bahwa saksi mahkota adalah seorang terdakwa menjadi saksi bagi terdakwa lainnya yang kedudukannya sebagai terdakwa dilepaskan (terdakwa yang mengkhianati temannya). Pengertian ini berdasarkan atas praktek dan peraturan perundang-undangan yang terdapat dinegara Perancis dan Belanda. Penarikan seorang terdakwa menjadi saksi, terlebih dahulu diberi janji-janji seperti akan diperingan hukumannya atau bahkan dibebaskan, apabila bersedia untuk membongkar kejahatan yang dilakukan oleh teman-temannya. Pemeriksaan di depan sidang pengadilan atas terdakwa (yang menjadi saksi mahkota) dilakukan setelah hakim memberikan putusan terhadap terdakwa-terdakwa lainnya. (Loebby Loqman, 1995 : 6-7).

Pada awalnya, pengaturan mengenai saksi mahkota hanya di atur dalam ketentuan Pasal 168 huruf (c) KUHAP, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat di dengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya, maka petunjuk tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana      di atur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. (Varia Peradilan, 1990 : 19).

Dalam yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. (Varia Peradilan, 1990 : 25).

Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah  karena kurangnya alat bukti. (M. Sofyan Lubis, 2008 : 1).

Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana di dasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana. (Varia Peradilan, 1990 : 27).

Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung memiliki pendapat terbaru tentang penggunaan saksi mahkota dalam suatu perkara pidana dalam hal mana dijelaskan bahwa  penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995. (Varia Peradilan, 1995 : 5).

Adanya penggunaan saksi mahkota yang terus berlangsung sampai sekarang ini harus segera dihentikan, karena pasti menimbulkan permasalahan yuridis. Adanya alasan klasic yang dikemukakan Penuntut Umum, bahwa untuk memenuhi dan mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti sudah tidak bisa ditoleransi lagi.

Secara normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa dan hak terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian (vide pasal 66 KUHAP), di samping itu juga penggunaan ’saksi mahkota’ oleh Penuntut Umum selama ini jelas melanggar instrumen hak asasi manusia secara internasional ( International Covenant on Civil and Political Right ).

Mengakhiri tulisan ini perlu penulis sarankan kepada kita sebagai penegak hukum sbb :

1). Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana haruslah ditinjau kembali untuk segera diakhiri, karena bertentangan dengan esensi Hak Asasi manusia (HAM), khususnya hak asasi terdakwa ;

2). Marilah kita mendukung implimentasi prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dengan berupaya mencari solusi untuk menggantikan penggunaan alat bukti ’saksi mahkota’ demi mewujudkan proses peradilan yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam KUHAP dan mewujudkan rasa keadilan masyarakat luas (publik) ;

Semoga Bermanfaat.

Terima Kasih.

DENY

081250106444

SENGKETA TANAH

Sengketa-ilustrasi

Salah satu kegiatan dalam program strategis BPN RI lainnya adalah percepatan penyelesaian kasus pertanahan. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, kasus pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional.

SENGKETA PERTANAHAN

Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat.

KONFLIK PERTANAHAN

Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis.

PERKARA PERTANAHAN

Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI.

KRITERIA PENYELESAIAN KASUS PERTANAHAN

Kasus pertanahan yang terdapat dalam basis data BPN RI merupakan kasus-kasus lama maupun kasus-kasus baru yang timbul sebagai implikasi kasus-kasus lama. Setelah dilakukan identifikasi terhadap kasus-kasus tersebut, diperoleh informasi bahwa tipologi kasus kasus tersebut tidak dapat dilakukan generalisasi dalam melakukan upaya penanganan kasusnya. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam upaya penyelesaiannya dikategorikan dalam beberapa kriteria sebagai berikut:

  1. Kriteria 1 (K1) : penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa.
  2. Kriteria 2 (K2) : penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pembatalan sertipikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
  3. Kriteria 3 (K3) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain disetujui oleh pihak yang bersengketa.
  4. Kriteria 4 (K4) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan.
  5. Kriteria 5 (K5) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain.

SOLUSI PENYELESAIAN KASUS PERTANAHAN

Terhadap suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional, solusi penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:

  1. Pelayanan pengaduan dan Informasi Kasus
    • Pengaduan disampaikan melalui Loket pengaduan.
    • Dilakukan Register terhadap pengaduan yang diterima.
    • Penyampaian informasi, digolongkan menjadi :
      • Informasi rahasia : Perlu ijin Kepala BPN RI atau Pejabat yang ditunjuk.
      • Informasi Terbatas : Diberikan pada pihak yang memenuhi syarat.
      • Informasi Terbuka untuk umum : Diberikan pada pihak yang membutuhkan.
  2. Pengkajian Kasus
    • Untuk mengetahui faktor penyebab.
    • Menganalisis data yang ada.
    • Menyusun suatu rekomendasi penyelesaian kasus.
  3. Penanganan Kasus
    Penanganan suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional RI dilakukan dengan tahapan :

    • Pengolahan data pengaduan, penelitian lapangan/koordinasi/investigasi.
    • Penyelenggaraan gelar kasus/penyiapan berita acara.
    • Analisis/Penyusunan Risalah Pengolahan Data/surat keputusan.
    • Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan kasus.

    Untuk suatu kasus pertanahan tertentu yang dianggap strategis, dilaksanakan pembentukan tim penanganan kasus potensi konflik strategis.

  4. Penyelesaian Kasus
    Penyelesaian suatu kasus pertanahan dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

    • Penyelesaian melalui jalur hukum/pengadilan.
    • Penyelesaian melalui proses mediasi.

Terima Kasih.

DENY

081250106444

Sengketa Keluarga (Waris)

th (17)

Warisan adalah harta peninggalan dari orang yang sudah meninggal. Sedikit bikin pusing, banyak juga bikin pusing, jadi mending tinggalkan harta warisan yang cukup banyak ya, karena meninggalkan keluarga dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik, daripada dalam keadaan berkekurangan dan meminta kepada manusia.

Perihal warisan ini gampang-gampang rumit. Gampang jika semua ahli waris memahami ilmunya atau setidaknya mau tahu dan satu pendapat, mana yang akan digunakan. Rumit, jika para ahli waris tidak memahami ilmu warisan dan tidak mau belajar untuk tahu, atau dalam satu keluarga beda agama, mengingat pembagian warisan di Indonesia ada 3 hukum: KUH Perdata, adat dan hukum Islam.

Warisan, bukan hanya sekedar tentang harta peninggalan, tapi tentang kelangsungan hidup, hak anggota keluarga lain yang ditinggalkan: hidup anak istri, sekolah anak, biaya pernikahan anak, infaq, sedekah, wakaf yang harus berkelanjutan meski sudah meninggal (amal jariyah), kelangsungan bisnis, dll.

Penyelesaian sengketa tanah yang notabene merupakan warisan adalah mengacu pada aturan hukum waris yang ada di Indonesia, bukan mengacu pada penyelesaian sengketa secara perdata biasa, mengingat hukum waris memiliki aturannya tersendiri baik dalam hukum perdata barat, hukum Islam, maupun hukum Adat.

Penggunaan jenis hukum yang ada diserahkan kepada pihak-pihak yang bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa waris yang ada di masyarakat, penyelesaian yang terbaik adalah dengan musyawarah di antara ahli waris. Namun, jika terjadi pembagian warisan yang tidak dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, para ahli waris dapat mengajukan gugatan ke pengadilan sesuai dengan pilihan hukum seperti tersebut di atas.

Mengenai pengurusan tanah yang menjadi warisan, dalam Kompilasi Hukum Islam mengatur demikian:

Pasal 189
Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari dua hektare, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.

Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.

Sehingga sebagaimana diterangkan Pasal 188 Kompilasi Hukum Islam, bagi yang beragama Islam, dapat mengajukan permohonan fatwa waris dari hakim pengadilan agama yang menentukan besarnya bagian bagi ahli waris masing-masing melalui penetapan.

Sedangkan bagi non-Muslim, jika terjadi sengketa antara ahli waris mengenai jumlah bagian warisan maka para pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.

Dampaknya antara lain:

  1. Sengketa warisan. Gara-gara warisan, saudara bertikai, anak meneriaki ibunya, Ibu dituntut anak, Kakak adik bertikai, berkelahi, dipenjarakan pertumpahan darah. Iya, darah boleh saudara tapi, duit, harta tidak, bahkan bunuh membunuh. Sangat menyeramkan.
  2. Anak-anak terlunta-lunta saat orang tuanya berpulang, harta yang mereka tinggalkan ludes tanpa pemanfaatan dengan benar.
  3. Istri tidak bisa meneruskan bisnis yang ada, karena tidak punya pengetahuan, akhirnya berangsur-angsur habis, padahal kewajiban terhadap anak belum tuntas.
  4. Harta peninggalan, dihabiskan oleh wali yang harusnya hanya memanfaatkan untuk pemeliharaan si anak.
  5. Rumitnya penghitungan karena telatnya pembagian, hingga generasi ke genarasi, misalnya dari sejak kakeknya kakek belum dibagi, maka perlu penghitungan bertahap, hingga ke generasi sekarang, dan lain-lain.

Solusinya sebenarnya sangat sederhana, membuat perencanaaan waris atau yang biasa disebut dengan Estate Planning atau berwasiat, yang dilegalisasi oleh pihak berwenang, setidaknya tentang:

  1. Perwalian pemeliharaan anak.
  2. Pihak yang dipercaya mengurus harta/bisnis.
  3. Pelaksana wasiat, minimal sampai anak-anak dewasa secara hukum.
  4. Siapa yang dipercaya meng-handle bisnis, hingga anak-anak dewasa, dan lain sebagainya.

Dalam hal bingung dan untuk menghindari sengketa pembagian warisan, Anda dapat mengajukan ke Pengadilan untuk mendapatan “surat ketetapan” waris. Bagi yang beragama islam masalah warisan ditangani oleh peradilan agama, dan bagi yang bukan beragama Islam, ditangani peradilan umum.